Siapa yang berhak menentukan Mafsadah Corona itu nyata atau tidak?
Tulisan Gus Nadir, semoga menambah wawasan Fikih kita
______
Siapa yang berhak menentukan Mafsadah Corona itu nyata atau tidak?
Saya meyakini para ulama kita yang mumpun dalam qawaid ushuliyah - qawaid fiqhiyah dan maqashid as-syariah itu paham benar akan kaidah masalahah - mafsadah; azimah - rukhsah, taklifi - wadh’i; sadd dzari’ah dan konsep kunci lainnya. Perbedaannya adalah pada aplikasi kaidah dan pemahaman tentang persoalan atau kasus yang dihadapi.
Itu sebabnya dalam bahtsul masail berkenaan dengan perbankan, para ulama akan berkonsultasi dengan ahli ekonomi; berkenaan dengan kemasyarakatan, akan berkonsultasi dengan para pakar sosiologi dan tokoh masyarakat, serta dalam hal kesehatan akan berkonsultasi dengan para dokter, sebelum mengeluarkan fatwa. Ini agar pemahaman terhadap teks nyambung dengan konteks; atau pemahaman tentang kaidah sejalan dengan aplikasinya yang diterapkan untuk kasus tertentu.
Ambil contoh soal corona. Sebagian pihak menggunakan kaidah di bawah ini:
المصلحة المحققة مقدمة على المفسدة الموهومة
“Kemaslahatan yang nyata wajib didahulukan dari pada mafsadah yang belum nyata”
Para ulama kita yang alim dan mumpuni itu beranggapan kemaslahatan shalat jumat dan berjamaah di masjid itu sudah nyata, sementara mafsadah (kerusakan) akibat corona itu belum nyata. Kaidahnya benar. Namun aplikasinya belum tentu benar. Timbul pertanyaan:
1. Benarkah mafsadah corona itu belum nyata?
2. Siapa yang berhak menentukan status mafsadah corona tersebut?
Saya akan beri contoh: dilarang menggali sumur dibalik pintu karena akan mencelakakan orang yang akan melintas. Pada kasus ini, meskipun menggali sumur ada manfaatnya, namun diduga kuat (zhan) bisa membahayakan orang yang akan melintasnya. Apakah kita harus menunggu orang untuk kejeblos sumur dulu baru mengharamkannya? Di sini logika dan antisipasi ‘common sense’ berperan. Jika menggali sumurnya tidak di balik pintu, tapi di tempat yang lebih aman dari lintasan pergerakan manusia, maka hukumnya bisa berubah menjadi boleh.
Nah, sekarang apakah dugaan terhadap dampak kerusakan (mafsadah) virus corona itu sudah berada pada tingkat dugaan kuat (zhan) atau masih tidak nyata (mauhumah)?
Jumlah kasus positif virus corona hingga Jumat (27/3/2020) di Indonesia mencapai 1046 orang, bertambah 153 kasus dibandingkan hari sebelumnya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 87 orang meninggal dunia dan 46 orang berhasil sembuh. Artinya, tingkat kematian kasus positif Corona mencapai 8,3 persen. Dari total 549.604 kasus virus corona di seluruh dunia, jumlah kematian mencapai 24.863 pasien, sedangkan 127.531 di antaranya telah dinyatakan sembuh. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah.
Satu hal lagi yang penting, para dokter menyatakan cara penyebaran virus corona ini bisa dibawa oleh orang sehat atau terlihat sehat. Dan akan fatal ketika orang sehat yang membawa virus di anggota tubuhnya ini kemudian berinteraksi dengan orang lain yang kekebalan tubuhnya tidak sekuat dia. Pada titik ini, karena belum dilakukan tes secara masif mengenai siapa yang positif terkena, maka di semua wilayah hukum Indonesia untuk langkah pencegahan dan antisipasi SEMUA orang diduga berpotensi menularkan dan tertular virus corona.
Itu sebabnya ada gerakan #dirumahaja atau bekerja dari rumah (work form home) karena kita tidak tahu siapa yang positif kena corona atau membawa virus meski terlihat sehat. Apakah dampak ini belum dianggap nyata oleh para ulama kita? Mau menunggu sampai berapa banyak lagi yang meninggal baru kita tergerak hatinya untuk melarang orang Jumatan? Apa menunggu keceblos sumur dulu, seperti contoh sebelumnya?
Kita bicara soal nyawa manusia. Menyelamatkan satu nyawa itu seperti menyelamatkan seluruh penduduk bumi. Angka kematian akibat corona di negara kita tertinggi di Asia Tenggara. Saya ngeri membayangkan dampaknya kalau kita tidak melakukan upaya antisipatif bersama. Ini bukan langkah panik. Justru ini langkah yang sangat rasional dan terukur.
Jadi, daerah yang dianggap masih aman itu sebenarnya belum tentu aman karena belum dilakukan test secara masif. Sampai di sini, semoga bisa dipahami dampak nyata corona itu.
Mafsadah yang mauhumah (belum nyata) itu contohnya gini: shalat jumat di masjid kita ganti dengan shalat zuhur di rumah karena ada jamaah yang kakinya korengan. Pertanyaannya ini penyakit menular bukan? Bukan, maka gak boleh Jumatan diganti zuhur.
Atau ada jamaah yang sakit pilek biasa. Pertanyaannya: meski menular, apakah pilek ini membahayakan? Tidak, maka gak boleh jumatan ditiadakan. Nah, virus corona ini memenuhi semua elemen tadi: menular dan membahayakan. Obat anti virusnya belum ada. Yang meninggal sudah banyak. Angka yang terkena juga semakin meningkat. Bahkan proses penularannya juga bisa dilakukan oleh orang yang terlihat sehat, gak pilek atau batuk. Masak belum bisa bilang ini mafsadah yang nyata?
Apalagi tuntunan agama membenarkan untuk kita mengganti Jumatan dengan zuhur di rumah. Atau shalat berjamaah di masjid diganti dengan jamaahan di rumah saja. Agama membenarkan. Lain halnya kalau kita membuat-buat aturan seperti gak boleh shalat di rumah sama sekali. Nah, ini baru gak benar.
Lantas siapa yang berhak menentukan ini mafsadah yang nyata atau tidak? WHO lembaga dunia sudah bilang ini wabah pandemi. Pemerintah sudah menetapkan status darurat bencana non-alam. Para dokter sudah mengatakan ini berbahaya. Lantas siapa lagi yang mesti kita percaya untuk menentukan kemafsadahan ini? Pada titik ini, kita memasuki wilayah fiqh siyasah. Kita harus taat pada ulil amri, yaitu pemerintah pusat. Ini bukan lagi wilayah ulama untuk menentukannya. Kaidahnya: hukmul hakim ilzamun wayarfa’ul khilaf. Para ulama hafal semua kaidah ini.
Semoga menjadi jelas bahwa virus corona ini merupakan mafsadah yang nyata, bahkan di daerah yang katanya belum terpapar sekalipun. Dan yang berhak menetapkan status mafsadah itu adalah pemerintah pusat karena kita satu kesatuan wilayah hukum (wilayatul hukmi). Ulama harus mendengar apa kata pemerintah. Pemerintah mendengar apa kata dokter atau ahli kesehatan. Maka insya Allah kita semua bisa berkordinasi mencegah meluasnya penyebaran virus corona. Kami hanya ingin para kiai, jamaah dan bangsa ini sehat dan selamat semuanya dari wabah pandemi corona ini.
Ya Lathif, ulthuf bina....
Tabik,
GNH
Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A. (Hons), Ph.D. adalah orang Indonesia yang menjadi dosen tetap di fakultas hukum di universitas di Australia. Sejak pertengahan tahun 2015 dia mengajar di Monash University Faculty of Law[1] setelah sebelumnya selama 8 tahun ia mengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Wollongong (2007-2015), hingga meraih posisi sebagai Associate Professor. Tahun 2005 ia bekerja sebagai post-doctoral research fellow di TC. Beirne School of Law, [[Universitas Que
Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosen.jpeg
Dr. Hosen lulus sarjana S1 dari Fakultas Syari'ah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan meraih gelar Graduate Diploma in Islamic Studies serta Master of Arts with Honours dari Universitas New England. Kemudian ia meraih gelar Master of Laws dari Universitas Northern Territory.
Peraih dua gelar doktor (Ph.D. in Law dari Universitas Wollongong dan Ph.D. (Dr.) in Islamic Law dari National University of Singapore) ini telah melahirkan lebih dari 20 artikel di jurnal internasional seperti Nordic Journal of International Law (Lund University), Asia Pacific Law Review (City University of Hong Kong), Australian Journal of Asian Law (University of Melbourne), European Journal of Law Reform (Indiana University), Asia Pacific Journals on Human Rights and the Law (Murdoch University), Journal of Islamic Studies (University of Oxford), and Journal of Southeast Asian Studies (Universitas Cambridge).
Disamping itu, Nadirsyah Hosen adalah seorang kiai dari organisasi Islam terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Sejak tahun 2005, ia dipercaya sebagai Ra'is Syuriah, pengurus cabang istimewa NU di Australia dan Selandia Baru. Gus Nadir, begitu ia biasa disapa, adalah pengarang buku "Human Rights, Politics and Corruption in Indonesia: A Critical Reflection on the Post Soeharto Era", (Republic of Letters Publishing, Dordrecht, The Netherlands, 2010); "Shari'a and Constitutional Reform in Indonesia" (Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2007); dan menulis buku bersama Ann Black and Hossein Esmaeili yang bejudul" Modern Perspectives on Islamic Law" (Edward Elgar, UK, 2013 dan 2015).[2]
Dia juga mengedit (bersama Joseph Liow) 4 jilid buku tebal "Islam in Southeast Asia", 4 volumes, (Routledge, London, 2010); dan mengedit bersama Richard Mohr buku "Law and Religion in Public Life: The Contemporary Debate" (Routledge, London, 2011 dan 2013).
Untuk karya dalam bahasa Indonesia, Nadirsyah telah menulis buku "Mari Bicara Iman" (Penerbit Zaman, 2011), dan menulis bersama Nurussyariah Hammado buku berjudul "Ashabul Kahfi Melek 3 Abad: Ketika Neurosains dan Kalbu Menjelajah Al-Quran" (Penerbit Noura Books, 2013). Pada tahun 2015, Nadirsyah Hosen meluncurkan buku terbarunya "Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal Hingga Memilih Mazhab yang Cocok" (Penerbit Noura Books, 2015).
Beberapa tulisan dan kolomnya tersebar di media massa Indonesia seperti Gatra, Media Indonesia, The Jakarta Post dan Jawa Pos. Kumpulan artikel keislamannya bisa dibaca di situs Isnet.
By: Sumber Group WhatsApp Dosen Nadhatul Ulama