Corona Mengubah Stigma Masyarakat
Corona Virus Disease-19 atau Covid-19 telah dinyatakan pandemi, virus ini dapat menyebar melalui sentuhan kulit, batuk, dan bersin. Virus ini berawal dari hewan dan dapat menular ke manusia, kemudian manusia dapat menularkan ke manusia lain dengan sangat mudah. Mudahnya virus ini menular menyebabkan virus ini menyebar tidak terkendali. Dari suatu negara dan menyebar ke negara lain termasuk Indonesia. (Mutiara Patricia Ladimo, 2020)
Indonesia telah terjangkit Covid-19 sejak awal maret 2020. Virus ini juga telah menular ke banyak warga Indonesia terutama di Jakarta. Sehingga pemerintah per 15 Maret 2020 membuat kebijakan untuk melakukan kegiatan di dalam rumah. Seperti bekerja di rumah, belajar di rumah, dan belanja di rumah. Kegiatan ini digalangkan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Sejak Covid-19 menyerang Indonesia, kini masyarakat mengalami perubahan sosial dan perubahan stigma. Banyak masyarakat yang egois dengan menimbun masker kemudian menjualnya dengan harga yang fantastis, ada yang memborong bahan pokok dan lain sebagainya. Perubahan kesadaran masyarakat akan kesehatan juga berubah. Masyarakat lebih sadar akan kesehatan, menerapkan cuci tangan pakai sabun, penyemprotan desinfektan, menjaga jarak satu sama lain, dan lebih beretika ketika bersin dan batuk. Kesadaran akan kesehatan sampai saat ini juga masih digalangkan oleh organisasi-organisasi sosial masyarakat, mereka membagikan masker dan hand sanitizer kepada orang-orang yang terpaksa bekerja di luar rumah.
Tak hanya itu, perubahan stigma masyarakat juga berubah. Stigma adalah anggapan negatif kepada orang atau kelompok orang karena mendapat pengaruh dari lingkungannya. Stigma mereka diantaranya dengan mendeskriminasi apabila ada yang batuk atau bersin di tempat umum. Warga yang berstatus ODP (Orang Dalam Pemantauan) dan PDP (Pasien Dalam Pemantauan) dikucilkan. Begitu juga petugas medis yang diusir dari lingkungannya karena dianggap pembawa virus. Sesungguhnya mereka yang terjangkit virus ini adalah korban, dan petugas medis adalah penyelamat korban. Dalam berbagai kasus di Indonesia tentang perubahan stigma masyarakat ini miris dirasakan. (Rizkiayu, 2020)
Mari kita lihat kasus-kasus yang ada di Indonesia. Setidaknya ada empat orang perawat di usir dari indekostnya karena dianggap pembawa virus, bahkan pemilik kos mengancam akan memanggil massa untuk mengusir paksa. Ada pula perawat yang diusir suaminya dari rumah. Sehingga perawat-perawat tersebut terpaksa menginap di rumah sakit. Kasus lain, terjadi penolakan jenazah terjangkit Covid-19 di banyak daerah. Mereka memblokade desa agar mobil jenazah tidak masuk, hingga melempari petugas medis yang melaksanakan pemakaman. Padahal pihak keluarga dan pihak medis telah melaksanakan protokol sesuai ketentuan Kementrian Kesehatan RI. Berita lain yang miris, jenazah di tolak di dua tempat pemakaman sehingga harus dimakamkan di tempat lain, tetapi ketika warga tahu bahwa jenazah tersebut terjangkit Covid-19 semua geger minta dibongkar makamnya. (Shihab, 2020)
Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan Covid-19 ini mulai terbentuk salah satu caranya yaitu dengan jaga jarak. Namun, jaga jarak yang mereka lakukan ini tidak lagi wajar. Menjaga jarak bukan berarti mengucilkan, jaga jarak bukan berarti menolak jenazah. Petugas medis adalah pahlawan untuk kita, seharusnya kita apresiasi bukan kita deskriminasi.
Pemerintah telah melakukan ajakan sosial untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 ini, yaitu dengan menghimbau masyarakat untuk tidak mudik ke kampung halaman. Namun, banyak dari mereka yang terpaksa mudik karena tidak ada pekerjan di rantauan. Hal ini juga menimbulkan perubahan sosial masyarakat. Masyarakat desa merasa senang karena saudara dari rantauan pulang, tapi mereka tidak tahu apakah saudaranya tersebut membawa virus atau tidak. Maka kepala desa di seluruh Indonesia telah memberitahukan bahwa jika ada saudara warga desa tersebut datang dari rantauan diharap melaporkan diri dan dilakukan karantina selama 14 hari. Warga yang dikarantina ini merasa tidak terima karena mereka merasa sehat dan bugar.
Masyarakat yang datang dari rantauan dan terjangkit virus ini dianggap sebagai aib di desanya. Stigma masyarakat ini sangat membahayakan, karena mereka yang sakit akhirnya tidak mau memerikasakan dirinya dan bahkan tidak mau jujur bagaimana riwayat perjalannya. Tentu hal ini lebih meresahkan warga. Sebab penyebaran Covid-19 akan tidak terkendali terutama pada keluarga dan petugas medis.
Berita-berita hoax saat ini memang banyak sekali beredar dan mudah sekali beredar sehingga berita tersebut sangat dipercaya oleh masyarakat awam. Keawaman ini menjadi pemicu stigma sosial yang berkembang di masyarakat saat ini. Profokator harus segera ditindak tegas atau akan semakin meresahkan masyarakat. Ditambah lagi pemerintah yang tertutup terhadap informasi pandemi Covid-19 ini.
Stigma sosial karena Covid-19 ini harus ditangani agar tidak semakin meluas dan merugikan masyarakat. Yaitu dengan tidak menyatakan dengan terang nama penderita Covid-19 tetapi menggantinya dengan sebutan pasien, tidak memberi cap orang atau kelompok sebagai penyebar Covid-19, memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga terjangkit Covid-19, memberikan apresiasi kepada petugas medis yang merawat pasien Covid-19, tidak menyebarkan berita hoax tentang Covid-19, mencari informasi Covid-19 yang benar sesuai dengan sumber yang jelas, membagikan berita baik seperti kesembuhan pasien serta saling memberikan semangat. (Tim administrator situs KawalCOVID19.id, 2020)
Menangani stigma yang beredar di masyarakat ini adalah beban pemerintah yang harus didukung dengan kesadaran masyarakat. Pemerintah harus terbuka dan secepatnya bertindak mengatasi warga yang mendiskriminasi pasien Covid-19. Mari bersama saling memberi semangat, meyadari bahwa Covid-19 bukanlah tindakan melanggar norma sehingga harus dikucilkan. Badai Covid-19 ini pasti akan berlalu, dengan sama-sama kita menaati peraturan pemerintah serta saling memberikan dukungan kepada sesama. By Zuha Prisma Salsabila