Bentuk dan Jenis Hukuman dalam Pendidikan
Secara garis besar, hukuman dalam pendidikan terbagi atas dua jenis yaitu hukuman badan/fisik dan hukuman mental/psikis. Hukuman badan/fisik adalah pemberian hukuman yang mengenai tubuh atau jasmani peserta didik, seperti dipukul, dicubit, berdiri bahkan disuruh jongkok di bawah meja dan sebagainya. Sedangkan hukuman mental/psikis adalah pemberian hukuman yang menyentuh perasaan peserta didik, seperti dimarahi, ditegur dengan kata kasar, diejek, dimaki, dipermalukan di depan teman-temannya dan sebagainya yang berhubungan dengan perasaan.
Menurut Alisuf Sabri bahwa bentuk hukuman ada tiga: 1) Hukuman badan, 2) Hukuman perasaan dan 3) Hukuman intelektual.
Hukuman intelektual yaitu anak didik diberikan kegiatan tertentu sebagai hukuman dengan pertimbangan kegiatan tersebut dapat membawanya ke arah perbaikan, contoh; seorang siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, tidak dihukum dengan pukulan atau disuruh berdiri di depan kelas atau dengan hukuman perasaan lainnya, tetapi siswa tersebut disuruh mengerjakan PR-nya di kelas sedangkan teman-temannya yang lain belajar seperti biasa.
Hukuman tersebut selain diharapkan dapat mencapai tujuan perbaikan, juga dapat mencapai tujuan untuk menyelesaikan PR bagi siswa tersebut. Dari kasus tersebut dapat dipahami bahwa hukuman bukan hanya berupa siksaan jasmaniah (bersifat pisik) saja, tetapi yang lebih penting adalah harus mampu memberi semangat dan menimbulkan sikap untuk memperbaiki diri.
Meskipun menyebabkan penderitaan bagi siterhukum (peserta didik), namun hukuman dapat juga menjadi alat motivasi, alat pendorong untuk mempergiat aktivitas belajar maupun perbaikan terhadap sikap dan perilaku peserta didik.
Sementara itu, Suwarno mengemukakan pula bentuk hukuman dalam pendidikan sebagai berikut :
a. Hukuman assosiatif, dimana penderitaan yang ditimbulkan akibat hukuman ada assosiasinya dengan kesalahan anak.
b. Hukuman logis, dimana anak dihukum hingga mengalami penderitaan yang ada hubungan logis dengan kesalahannya.
c. Hukuman moril, di mana anak didik bukan hanya sekedar menyadari hubungan logis antara kesalahan dan hukumannya, tetapi tergugah perasaan kesusilaannya atau terbangun kata hatinya, ia merasa harus menerima hukuman sebagai sesuatu yang harus dialaminya.
Ketiga bentuk hukuman tersebut, diharapkan menjadi alat pengontrol tingkah laku anak serta menanamkan pengertian tentang nilai moral pada anak. Bila seorang anak mengetahui bahwa ia pernah dihukum atas suatu perbuatan, setidaknya ia akan berpikir untuk melakukan perbuatan yang sama.
Dengan demikian jelaslah bahwa hukuman mempunyai beberapa bentuk yang merupakan bagian dari alat pendidikan yang tidak mesti diterapkan terhadap setiap kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan peserta didik.