Memaknai Bhineka Tunggal Ika dalam Kehidupan Sehari-hari
Beberapa waktu yang lalu kita kembali dikejutkan dengan peristiwa bom bunuh diri, maraknya ujaran kebencian, dan intoleransi yang terjadi di negeri ini. Hal ini berakibat kepada munculnya “persepsi” baru berdasarkan hasil interpertasi seseorang dalam menangkap peristiwa yang terjadi. Akibat globalisasi yang dengan mudah dapat mempengaruhi watak karakter asli masyarakat bangsa ini sekaligus melupakan sejarah masa lampau tentang kesepakatan para pendahulu tentang Bhinneka Tunggal Ika.
Bhinneka Tunggal Ika (Unity of Diversity) merupakan istilah
yang terdapat pada kitab Sutasoma karya Mpu Tantular sekitar abad 14. Istilah
tersebut terdapat pada bait 5 pupuh 139, Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa
tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Mpu Tantular hidup pada
periode Hindu dan Budha di Indonesia, tepatnya pada zaman kerajan Majapahit,
yang mana Agama Hindu dan Budha dapat berdampingan dengan rukun dan damai di
bawah paying kerjaaan.
Oleh karena itu istilah Bhinneka Tunggal Ika merujuk pada
awalnya kepada semangat toleransi agama antara Hindu dan Budha pada zamannya (I
Nyoman Pursika, 2009). Dalam hal penamaan kitab sutasoma, menurut riwayatnya
diambil dari nama seorang pangeran yang konon ahli pada bidang sastra, tembang,
dan menyukai ajaran batin sekaligus dianggap penjelmaan Budha di dunia
(Sugriwa, 1959).
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
Bhinneka Tunggal Ika disepakati menjadi semboyan negara. Semboyan tersebut
sangat berdasar, karena bangsa ini merupakan bangsa multilkultural yang
terdapat beragam Suku, Agama, Ras, dan antar golongan (SARA). Semboyan tersebut
juga mengakui, bahwa perjuangan kemerdekaan tidak mungkin diraih tanpa ada
kebersamaan, dan menghilangkan perbedaan.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan pengakuan yang mendalam
dengan dilandasi semangat jiwa terhadap realitas bangsa yang majemuk, namun
tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Secara konstitusional diatur
pada pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1954) dan tertulis pada Burung
Garuda, sebagai lambang negara. Sebagai semboyan negara dalam berkehidupan
berbangsa, Bhinneka Tunggal Ika termanifestasi dalam berbagai realitas dan
aspek kehidupan. Menurut data SP2010 BPS terdapat 1331 suku dan 300 lebih
kelompok etnik yang tersebar diseluruh nusantara yang berkemajemukan.
Selain dan etnik, walaupun secara resmi terdapat 6 agama yang
diakui oleh negara, terdapat banyak aliran kepercayaan lokal di Indonesia,
sebut saja Permalim dan aliran Mulajadi Nabolon di Sumatera Utara, Kaharingan
di Kalimantan, Sunda Wiwitan di Banten, Djawa Sunda dan Buhun di Jawa Barat,
Kejawen di Jawa Tengah dan Timur, Wetu Telo di Lombok, Marapu di Sumba, Aluk
Todolo di Tana Toraja, Tolottang di Sulawesi Selatan, Naurus di Pulau Seram,
Tonaas Walian dan Pahkampetan di Sumatera Utara, dan lain sebagainya.
Selain agama, terdapat 707 (Ethnologue, 2016) bahasa lokal
yang ada di Indonesia, bahkan provinsi Sumatera terdapat 21 ragam bahasa.
Bahasa-bahasa daerah tersebut digunakan dalam interaksi lokal masyarakat, sebut
saja Bahasa Banjar bagi orang Banjar dan sekitarnya, bahasa Jawa mulai dari
tingkat “kasar” sampai dengan yang “halus”, bahasa Sunda, bahasa Madura, bahasa
Batak, bahasa Bugis, dan lain sebagainya.
Bhinneka Tunggal Ika disepakati untuk menjadi cerminan logis
nasional untuk menjadi penyeimbang antara elemen perbedaan dari beragamnya SARA
di Indonesia. Dilihat dari struktur sosial keragaman tersebut dapat dilihat
dari Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial dari beragamnya SARA. Hal ini
terbukti dengan Yogyakarta yang menjadi Daerah Istimewa yang tetap di pimpin
oleh seorang Raja sebagai Gubernurnya.
Sebagai pernyataan terhadap pengakuan realitas bangsa yang
majemuk, Bhinneka Tunggal Ika merupakan cita-cita untuk mewujudkan kesatuan dan
persatuan terhadap NKRI. Berbeda merupakan keniscayaan, tidak ada satupun di
dunia ini yang dapat menghindari perbedaan. Dengan kesadaran tentang perbedaan
tersebut, gerakan Soempah Pemuda tahun 1928 merupakan konsensus Bersama dan
modal sosial yang dapat mempersatukan berbagai perbedaan tersebut hingga
akhirnya mampu melewati masa sulit hingga masa sekarang di masa mempertahankan
kemerdekaan.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai
lebih dari 17.000 pulau, negara ini juga mempunyai ciri unik yaitu masyarakat
yang pluralis. Pluralis merupakan istilah yang merujuk kepada kehidupan bersama
masyarakat yang di dalamnya terdapat keberagama, baik suku, ras, budaya, dan
agama (John Titaley, 2013) sehingga penekanan pada masyarakat pluralis adalah
pada pengakuan terhadap perbedaan untuk dapat saling bertoleransi, menghargai,
saling memberi, menerima, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial (Djohan
Effendi, 2010).
Walaupun demikian, kemajemukan selain sebagai suatu kekayaan
juga dapat menjadi permasalahan serius, yaitu rawan terjadi konflik baik verbal
maupun literatur khususnya dalam konflik agama (Jeneman Peter & John A.
Titaley). Gesekan-gesekan terhadap miskinnya makna kemajemukan dapat berakibat
kepada intolerensi, ujaran kebencian, terorisme dan pertikaian baik secara
vertikal dan horizontal.
Salah satunya adalah isu agama dan politik yang menjadi permasalahan
sangat serius dan sensitif di masa sekarang, di mana orang-orang dengan sengaja
mempropaganda menggunakan bahasa “agama” untuk kepentingan kelompoknya dengan
tidak segan mengadu domba dengan cara menyebarkan informasi-informasi palsu
(hoax) dan ujaran kebencian baik melalui media sosial bahkan upload video.
Seharusnya dengan keanekaragaman dan kemajemukan tersebut diharapkan dapat
menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia (Hardono Hadi, 1993)
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan rumusan tentang
adanya harmoni antara “hal satu” (the one) dan “hal banyak” (the many) (Rizal
Muntasyir, 1995), yang berarti berbeda-beda tetap satu. Berupaya untuk mempersatukan latar belakang
masyarakat yang beragama budaya (multikultural). Proses tersebut tidak secara
spontan terjadi, tapi melalui masa sejarah yang pancang untuk dapat mengacu
pada kesatuan yang uniformitas. Kesatuan di sini tidak menghilangkan
keberagaman, keberagaman mutlak pada satu sisi, tapi ketika adanya perbedaan
yang memuncak pada sisi keberagaman, maka kesatuanlah yang dapat meredamnya
(Rizal Muntasyir, 1995).
Sebagai negara yang pluralis dengan NKRI, Pancasila, UUD
1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai empat pilar dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, masyarakat Indonesia walaupun secara primordial berbeda-beda
tetapi secara bersama hidup dalam satu wadah sistem dan kebudayaan nasional
yaitu berbangsa satu, berbahasa satu, bertanah air satu, tanah air Indonesia.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sudah seharusnya menjadi karakter bangsa, bukan
hanya sebatas semboyan, yang ketika dihadapkan pada kepentingan kelompok
menjadi luntur dan dapat mengakibatkan konflik.
Baca Juga: Konsep Dasar Sejarah dan Kegunaannya
Untuk mempertahankan dan memaknai Bhinneka Tunggal Ika dalam
kehidupan sehari-hari dapat di lakukan dengan berbagai hal berikut:
- Menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
- Meyakini bahwasanya manusia diciptakan untuk saling bersilaturrahmi
- Menjunjung tinggi nilai toleransi & menghargai perbedaan
- Membangun Budaya Gotongroyong dan Kesadaran Integrasi Nasional
- Memperkuat rasa persaudaraan
- Terus belajar hingga akhir hayat
Hal ini juga sesuai dengan Islam di mana terdapat beberapa
dalil yang menunjukkan tentang keterkaitannya dengan sikap seorang muslim
terhadap keanekaragaman, diantaranya:
- Q.S Al-Kafirun ayat 1-6 tentang menghargai keyakinan;
- Q.S An-Nahl ayat 93 tentang umat yang banyak;
- Q.S Al-Hujarat ayat 13 tentang Penciptaan manusia berdasarkan jenis kelamin dan berbangsa-bangsa serta bersuku-suku untuk saling silaturrahmi (mengenal);
- Q.S Al-Baqarah ayat 256 dan Q.S Yunus ayat 99 tentang tidak adanya paksaan dalam keyakinan.
Baca Juga: Pembahasan Materi Konsep Dasar Peta
Oleh karena itu, perbedaan itu adalah kodrat dan persatuan
serta kesatuan adalah mutlak, sehingga jika diibaratkan seperti tubuh manusia,
ada satu bagian yang sakit yang lain ikut merasakan. Bangsa ini sudah mencatat
peristiwa besar, di mana tokoh-tokoh sudah bersepakat untuk menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara. Oleh karena itu, pada pembelajaran IPS SD/MI
lebih menekankan serta mengintegrasikan nilai-nilai universal bangsa Indonesia
dalam setiap materi yang disajikan.